Gratifikasi =
“Hadiah”, Haramkah?
Arti gratifikasi adalah pemberian kepada seseorang yang terkait dengan jabatan,
wewenang, atau tugas.
Islam, melalui lisan Nabi Muhammad Saw. jauh-jauh jari, 14 abad yang lewat telah
melarang para ‘amil (pejabat maupun karyawaan) untuk menerima grafikasi yang
terkait dengan tugas dan wewenangnya jika telah ditetapkan imbalan atau gajinya.
Masalahnya bukan diminta atau diberi; melainkan larangan untuk menerima
pemberian (gratifikasi) tersebut. Menerima gratifikasi selain pelanggaran hukum
negara, juga memperoleh laknat dari Allah dan Rasul. Na’udzubillahi min
dzalik. Imam Muslim meriwayatkan bahwa ketika Abi Dzar Al Ghifari
menghendaki sebuah jabatan, Nabi berkata kepadanya: “Wahai Abu Dzar,
sesungguhnya engkau ini lemah. Jabatan itu adalah amanah, dan kelak pada hari
kiamat akan menjadi kehinaan dan penyesalan. Kecuali orang-orang yang
memperolehnya dengan cara yang haq, serta menunaikan amanah itu kepada yang
berhak.” (Muslim, Kitab Imarah: 3.404).
Dalam riwayat Bukhari disebutkan bahwa Nabi Saw. bersabda: “Sesungguhnya
kalian sangat rakus terhadap jabatan yang pada hari kiamat nanti akan menjadi
penyesalan.” (Bukhari, Kitab Ahkam:6.615).
“Tidak akan masuk surga darah dan daging yang tumbuh dari barang haram.
Setiap darah dan daging yang tumbuh dari barang haram, maka api neraka lebih
berhak menyantapnya.” (HR. Thabrani)
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Humaid As Sa’idi, bahwa Rasulullah
Saw. mengangkat seorang ‘amil zakat dari Bani Assad bernama Ibnu Luthbiyah.
Tatkala selesai memungut zakat ia berkata kepada Nabi: “Ini kuserahkan
kepadamu, dan ini hadiah buatku.”
Lalu Rasulullah berdiri di atas mimbar. Setelah memuji Allah Swt., Nabi
bersabda: “Mengapa begitu sikap pegawai yang ku utus. Ia mengatakan ini ku
serahkan kepadamu, dan ini hadiah buatku. Mengapa ia tidak tinggal saja di rumah
ayah atau di rumah ibunya dan menunggu apakah dia akan diberi hadiah atau tidak.
Demi Dzat yang jiwa Muhammad dalam genggaman-Nya. Tidaklah berhak seseorang di
antaramu mengambil dari sedekah itu. Pada hari kiamat kelak dia datang dengan
membawa barang tersebut yang akan dikalungkan di lehernya, mungkin berupa onta
yang melanguh, sapi yang melenguh atau kambing yang mengembik.” Jadi,
meskipun kasus ini adalah kasus ‘amil zakat, tapi keutamaan hadits di atas yakni
larangan menerima hadiah bagi seorang ‘amil (karyawan), berlaku juga bagi setiap
orang yang mendapatkan tugas dan telah memperoleh gaji atau honor dari
pekerjaannya tersebut.
Keharaman ini terlihat dari ungkapa Rasulullah: “Mengapa begitu sikap ‘amil
yang ku utus....” Larangan ini dipertegas dengan pernyataan Rasulullah Saw.
yang menggunakan kalimat maa baalu, (mengapa; dalam bentuk istifham
inkari). Pertanyaan yang sifatnya menyanggah. Ungkapan semacam ini lebih
keras dari ucapan “jangan”, “tidak boleh” atau “dilarang”.
Para imam pensyarah hadits mengomentari hadits ini sebagai berikut:
Imam Nawawi mengatakan, “Hadits ini menerangkan bahwa hadiah untuk para
pegawai itu haram dan suatu penipuan, karena pegawai itu telah berkhianat
terhadap kekuasaan dan amanahnya. Dalam hadits ini juga diterangkan sebab
diharamkannya hadiah kepada pegawai yang berhubungan dengan kekuasaan”.
(Syarah Nawawi, 13: 219)
Penjelasan ini didukung oleh hadits dari Buraidah, bahwa Rasulullah bersabda, “Barangsiapa
yang kami pekerjakan pada suatu pekerjaan dan diberi gaji dari pekerjaan
tersebut, maka apa-apa yang diambilnya lebih dari itu adalah penipuan”. (HR.
Abu Dawud III/134, Al Hakim I/1472; sahih berdasarkan syarat Bukhari dan
Muslim).
Pelakunya, kelak dihari kiamat akan datang dengan membawa barang tersebut dengan
dikalungkan di lehernya. Demikian ancaman yang disebutkan Nabi Saw. dalam hadits
tersebut, termasuk dalam kategori penipuan (ghulul) yaitu hadiah yang diterima
disebabkan jabatan atau kekuasaan. Oleh karena itulah, Umar bin Abdul Aziz waktu
menjabat sebagai khalifah, menolak hadiah yang diberikan kepadanya. Jadi,
mengubah nama sogok dengan hadiah sama sekali tidak merubah sesuatu yang haram
menjadi halal.
Kalau dalam hadits sebelumnya Rasulullah menjalskan bahwa semua barang “hadiah”
itu akan dikalungkan di leher pelakunya pada hari kiamat bisa berupa kambing
yang mengembik, atau sapi yang melenguh, maka untuk pelaku sekarang yang
dikalungi kelak bisa berupa rumah, mobil, sepeda motor, komputer, kayu
glondongan atau bahkan berhektar-hektar lahan. Masihkah kita punya malu untuk
mengangkat wajah di hadapan Allah, dengan sejumlah “perhiasan” disaksikan
oleh seluruh umat manusia dihari pembalasan? Na’udzubillahi min dzalik.
Dalam praktek sehari-hari, sering dijumpai segolongan pegawai; baik di instansi
pemerintahan maupun swasta, badan memeriksa, anggota legislatif, wartawan, dan
sebagainya yang berprinsip, “Jangan pernah meminta tapi kalau diberi jangan
ditolak”, sehingga pemberian dari “orang-orang tertentu” yang
bermasalah dianggap sebagai hadiah dan berkah dari langit. Pertanyaannya, apakah
jika tanpa posisi, jabatan, dan status tertentu atau tanpa kekuasaan, seseorang
masih mendapatkan pemberian tersebut? Jika jawabnya tidak, maka jelas pemberian
itu adalah suap yang diharamkan dan dilaknat; baik penyuap, penerima suap maupun
yang menjadi perantara praktek suap-menyuap tersebut. Allah melaknat orang yang
menyuap dan disuap dalam perkara hukum. (HR. Ibnu Hibban XI/5076 bab Risywah).
Wallahu a’lam bish showab.
Disalin ulang dari Buletin Dakwah Masjid Raya Jabal Rahmah Semen Padang,
Edisi 102-2009.