Jumat, 27 April 2012

Gratifikasi = “Hadiah”, Haramkah?

Gratifikasi = “Hadiah”, Haramkah?

Arti gratifikasi adalah pemberian kepada seseorang yang terkait dengan jabatan, wewenang, atau tugas.

Islam, melalui lisan Nabi Muhammad Saw. jauh-jauh jari, 14 abad yang lewat telah melarang para ‘amil (pejabat maupun karyawaan) untuk menerima grafikasi yang terkait dengan tugas dan wewenangnya jika telah ditetapkan imbalan atau gajinya. Masalahnya bukan diminta atau diberi; melainkan larangan untuk menerima pemberian (gratifikasi) tersebut. Menerima gratifikasi selain pelanggaran hukum negara, juga memperoleh laknat dari Allah dan Rasul. Na’udzubillahi min dzalik. Imam Muslim meriwayatkan bahwa ketika Abi Dzar Al Ghifari menghendaki sebuah jabatan, Nabi berkata kepadanya: “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau ini lemah. Jabatan itu adalah amanah, dan kelak pada hari kiamat akan menjadi kehinaan dan penyesalan. Kecuali orang-orang yang memperolehnya dengan cara yang haq, serta menunaikan amanah itu kepada yang berhak.” (Muslim, Kitab Imarah: 3.404).

Dalam riwayat Bukhari disebutkan bahwa Nabi Saw. bersabda: “Sesungguhnya kalian sangat rakus terhadap jabatan yang pada hari kiamat nanti akan menjadi penyesalan.” (Bukhari, Kitab Ahkam:6.615).

Tidak akan masuk surga darah dan daging yang tumbuh dari barang haram. Setiap darah dan daging yang tumbuh dari barang haram, maka api neraka lebih berhak menyantapnya.” (HR. Thabrani)

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Humaid As Sa’idi, bahwa Rasulullah Saw. mengangkat seorang ‘amil zakat dari Bani Assad bernama Ibnu Luthbiyah. Tatkala selesai memungut zakat ia berkata kepada Nabi: “Ini kuserahkan kepadamu, dan ini hadiah buatku.”
Lalu Rasulullah berdiri di atas mimbar. Setelah memuji Allah Swt., Nabi bersabda: “Mengapa begitu sikap pegawai yang ku utus. Ia mengatakan ini ku serahkan kepadamu, dan ini hadiah buatku. Mengapa ia tidak tinggal saja di rumah ayah atau di rumah ibunya dan menunggu apakah dia akan diberi hadiah atau tidak. Demi Dzat yang jiwa Muhammad dalam genggaman-Nya. Tidaklah berhak seseorang di antaramu mengambil dari sedekah itu. Pada hari kiamat kelak dia datang dengan membawa barang tersebut yang akan dikalungkan di lehernya, mungkin berupa onta yang melanguh, sapi yang melenguh atau kambing yang mengembik.” Jadi, meskipun kasus ini adalah kasus ‘amil zakat, tapi keutamaan hadits di atas yakni larangan menerima hadiah bagi seorang ‘amil (karyawan), berlaku juga bagi setiap orang yang mendapatkan tugas dan telah memperoleh gaji atau honor dari pekerjaannya tersebut.

Keharaman ini terlihat dari ungkapa Rasulullah: “Mengapa begitu sikap ‘amil yang ku utus....” Larangan ini dipertegas dengan pernyataan Rasulullah Saw. yang menggunakan kalimat maa baalu, (mengapa; dalam bentuk istifham inkari). Pertanyaan yang sifatnya menyanggah. Ungkapan semacam ini lebih keras dari ucapan “jangan”, “tidak boleh” atau “dilarang”.

Para imam pensyarah hadits mengomentari hadits ini sebagai berikut:
Imam Nawawi mengatakan, “Hadits ini menerangkan bahwa hadiah untuk para pegawai itu haram dan suatu penipuan, karena pegawai itu telah berkhianat terhadap kekuasaan dan amanahnya. Dalam hadits ini juga diterangkan sebab diharamkannya hadiah kepada pegawai yang berhubungan dengan kekuasaan”. (Syarah Nawawi, 13: 219)

Penjelasan ini didukung oleh hadits dari Buraidah, bahwa Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang kami pekerjakan pada suatu pekerjaan dan diberi gaji dari pekerjaan tersebut, maka apa-apa yang diambilnya lebih dari itu adalah penipuan”. (HR. Abu Dawud III/134, Al Hakim I/1472; sahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim).

Pelakunya, kelak dihari kiamat akan datang dengan membawa barang tersebut dengan dikalungkan di lehernya. Demikian ancaman yang disebutkan Nabi Saw. dalam hadits tersebut, termasuk dalam kategori penipuan (ghulul) yaitu hadiah yang diterima disebabkan jabatan atau kekuasaan. Oleh karena itulah, Umar bin Abdul Aziz waktu menjabat sebagai khalifah, menolak hadiah yang diberikan kepadanya. Jadi, mengubah nama sogok dengan hadiah sama sekali tidak merubah sesuatu yang haram menjadi halal.

Kalau dalam hadits sebelumnya Rasulullah menjalskan bahwa semua barang “hadiah” itu akan dikalungkan di leher pelakunya pada hari kiamat bisa berupa kambing yang mengembik, atau sapi yang melenguh, maka untuk pelaku sekarang yang dikalungi kelak bisa berupa rumah, mobil, sepeda motor, komputer, kayu glondongan atau bahkan berhektar-hektar lahan. Masihkah kita punya malu untuk mengangkat wajah di hadapan Allah, dengan sejumlah “perhiasan” disaksikan oleh seluruh umat manusia dihari pembalasan? Na’udzubillahi min dzalik.

Dalam praktek sehari-hari, sering dijumpai segolongan pegawai; baik di instansi pemerintahan maupun swasta, badan memeriksa, anggota legislatif, wartawan, dan sebagainya yang berprinsip, “Jangan pernah meminta tapi kalau diberi jangan ditolak”, sehingga pemberian dari “orang-orang tertentu” yang bermasalah dianggap sebagai hadiah dan berkah dari langit. Pertanyaannya, apakah jika tanpa posisi, jabatan, dan status tertentu atau tanpa kekuasaan, seseorang masih mendapatkan pemberian tersebut? Jika jawabnya tidak, maka jelas pemberian itu adalah suap yang diharamkan dan dilaknat; baik penyuap, penerima suap maupun yang menjadi perantara praktek suap-menyuap tersebut. Allah melaknat orang yang menyuap dan disuap dalam perkara hukum. (HR. Ibnu Hibban XI/5076 bab Risywah).
Wallahu a’lam bish showab.

Disalin ulang dari Buletin Dakwah Masjid Raya Jabal Rahmah Semen Padang, Edisi 102-2009.

Comments

0 komentar :

Posting Komentar