Kamis, 15 Desember 2011

Sejarah, Budaya, dan Musik Talempong; Ibarat Tali Tigo Sapilin


Sejarah, Budaya, dan Musik Talempong
Ibarat Tali Tigo Sapilin
Oleh NUSYIRWAN (Kepala Pusat Penelitian Seni Budaya Melayu Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang, Sumatera Barat)


Kajian sejarah dibutuhkan guna mendalami latar belakang keberadaan dan perubahan yang dialami talempong yang berhubungan dengan waktu, perkembangan secara kronologis yang berkaitan dengan sejarah masuknya sistem modernisasi (diatonis) ke dalam budaya masyarakat Minangkabau, maka kajian sejarah tentang cerita atau narative tentang peristiwa masa lampau, akan dapat mengungkapkan fakta mengenai apa, siapa, kapa, dimana, dan bagaimana sesuatu terjadi.

Pendekatan sejarah dipakai karena perubahan-perubahan yang dialami oleh musik tradisional Minangkabau, khususnya musik talempong, tidak terlepas dari pengaruh kontak budaya yang terjadi semenjak masuknya bangsa Portugis pada abad XVI, serta melalui pendidikan zaman kolonial, yang pada waktu itu sangat mempengaruhi perilaku dan cara berpikir masyarakat Minangkabau. Pendekatan sejarah terutama pada sejarah pendidikan karena jalur pendidikan inilah yang menjadi salah satu pintu masuk sistem modernisasi (diatonis) dalam kehidupan budaya musik di Minangkabau.

Perubahan budaya yang terjadi dan merupakan salah satu dampak dari adanya kontak budaya tradisional dengan budaya Barat, dalam hal ini misalnya sistem nada musik Minangkabau yang sudah ‘dimodernisasi’ [dengan kata lain (sistem penarannya: Indonesia); (sistem penglarasannya: Jawa); (sistem penstelannya: Minang) musik Minangkabau sudah menggunakan acuannya alat musik Barat atau alat musik digital (diatonis)].


Budaya dan Musik
Berbicara masalah musik ataupun seni lainnya tentu keberadaannya tidak akan terlepas dari masyarakat, sebagai salah satu bagian yang terpenting dalam kebudayaan, dan bahasa ungkap yang lebih tepat kiranya bahwa masyarakat itu adalah penyangga kebudayaan. Berbagai macam bentuk kesenian adalah ungkatan kreativitas dari kebudayaan itu sendiri. Masyarakat yang menyangga kebudayaan misalnya kesenian/seni mencipta, memberi peluang untuk bergerak, memelihara, menularkan, mengembangkan untuk kemudian menciptakan kebudayaan baru lagi. Dan dapat ditambahkan bahwa kesenian yang berhadapan dengan masyarakat dalam arti kesenian memberikan atau menawarkan interprestasinya tentang kehidupan kepada masyarakat, kemudian masyarakat menyambutnya dengan berbagai cara.

M. Dwi Marianto, mengatakan bahwa, dalam setiap budaya, dimanapun tempatnya, selalu ada berbagai pemaksaan mengenai topik apa saja, dan selalu ada lebih dari satu cara menafsir. Jadi, kalau makna sesuatu selala berubah, maka praktik pemaknaan harus meliputi suatu proses penafsiran yang aktif. Makna harus dibaca untuk ditafsirkan secara aktif. Untuk memudahkan pemahaman mengenai makna yang selalu berubah, karya seni bisa dipahami sebagai sebuah teks. Maka penafsiran bukan sebagaimana praktek mencari maksud pengarang yang tersembunyi di balik teks, terlepas dari maksud pengarang atau orang lain.

Keistimewaan potensi yang dimiliki oleh masyarakat tradisi dalam membawakan peetunjukan musiknya tidaklah mudah ditiru oleh kalangan seniman yang sudah menempuh jenjang pendidikan, hal ini perlu kita hargai. Kemudian bagaimana seni tradisi itu di tengah arus perubahan bukanlah hal yang harus ditakuti, namun harus dicermati, didekati, dengan mendahulukan masalah kecerdasan dan kearifan para pendukungnya. Mengenai nilai-nilai dalam seni tradisi, kita dapat belajar memahami tentang semangat (spirit) komunalitas dan partisipasi atau dedikasi. Kolektivitas (solidaritas) menjadi perekat kehidupan mereka. Kesenian yang mereka cipatakan lebih sebagai kebutuhan bersama, sebagai sarana aktualitas bersama. Karena itu hidup matinya tergantung dari kesetiaan para pendukungnya. (I Made Bandem, “Seni Tradisi di Tengah Arus Perubahan”, Seni Tradisi Menantang Perubahan: Bunga Rampai. Mahdi Baharm, ed., Padangpanjang: 2004).

Terkait dengan budaya, tentu saja kajian etnografi, maupun antropologi juga meliputi kajian semiotika yang didalamnya memiliki kajian astetik, merupakan penguatan untuk lebih memasuki ranah budaya, apalagi yang urusannya dengan sejarah. Sebuah konteks budaya memang sayanga luas dan oleh karena itu, pemahaman sebuah penulisan yang berhudungan dengan kajian kesenian di Indonesia pada umumnya, pemahaman budaya dan mitologi Minangkabau di Sumatra pada khususnya, jelaslah sangat memiliki kterkaitan.


Tali Tigo Sapilin
Tali Tigo Sapilin, Tungku Tigo Sajarangan, pepatah yang demikian dalam kebudayaan orang Minangkabau, jelas hal yang tidak dapat dipisahkan begitu saja, apalagi kehidupan yang makin hari makin memiliki berbagai kerumitan (ekonomi). Peristiwa penting dalam perkembangan sebuah institusi ilmiah yang menamakan dirinya adalah pusat kajian budaya Melayu, sangat diharapkan tida konsep utama dalam perilaku kehidupan yang memiliki sifat jalinan dan tidak dapat didirikan, jika sebuah kakinya ditiadakan (tungku tigo sajarangan). Pemaknaan itu dapat diartikan dalam berbagai pola kehidupan, dan lebih tertuju pada pola pemikian ilmiah, dalam sebuah penelitian. Dalam pengkajian seni dan budaya yang ditujukan untuk mendalami persoalan masa lampau, inilah ilmu sejarah.

Suatu hal yang harus diketahui oleh sipenulis, bahwa untuk meneliti sejarah tidaklah semudah yang dibayangkan. Penelitian sejarah sesungguhnya membutuhkan metode-metode dan kajian sejarah itu memang harus dikerjakan secara holistik, jika ingin menemukan hasil yang lengkap dan valid. Segala penelitian sejarah harus dibarengi dengan data-dataautentik. Hanya saja untuk penelitian sejarah mengenai seni dan budaya di Minangkabau sangat sulit dilakukan, sebab data-data yang dimiliki oleh kebudayaan Minangkabau, kebanyakan hanya bersifat lisan (oral), dan lebih cenderung dengan bahasa turun temurun yang diceritakan dengan “kaba” atau yang dikabarkan. Semoga tajuk kali ini dapat menimbulkan inspirasi baru untuk penulis dan pembaca agar lebih berhati-hati dalam memberikan berbagai informasi seni dan budaya.

Tulisan itu jelas memberikan penekanan terhadapa aturan dalam menulis, yaitu:
  1. Berlaku universal dengan acuan kepatuhan ilmiah (sciencetific merit).

  2. Peneliti harus bersikap kritis.

  3. Ilmuan harus reseptif dan terbuka terhadap ide-ide baru.

  4. Pengetahuan ilmiah harus dimiliki dan dihayati.

  5. Sebagai norma budaya umum, ketidakjujuran mengambil gagasan orang lain tanpa menyebut sumbernya adalah ‘plagiat’ dan tabu dalam kegiatan ilmiah (honesty).



Dikutip dari Harian Umum “Haluan”. Edisi Minggu, 12 Juni 2011.

Comments

1 komentar :

Posting Komentar