Selasa, 17 Januari 2012

Perlu Saling Menghargai


Perlu Saling Menghargai

Alkisah, sang pengarang tafsir Al-Kabri, Imam ar-Razi berdialog dengan Al-Qadli Majduddin bin Qudwah. Dalam dialog tersebut, Imam ar-Razi disamping menggunakan ayat-ayat Allah, juga menggunakan akal dan pendapat ulama sebelumnya. Sementara Al-Qadli hanya mendasarkan pada bunyi tekstual ayat Al-Qur’an. Sehingga Al-Qadli terpojok mendengar dalil dan argumentasi ar-Razi. Para pendukung Al-Qadli marah-marah.

Dan keesokan harinya, keponakan Al-Qadli berkhutbah di mesjid dan mengatakan: “Mengapa kalian diam saja, sang Qadli yang membela Al-Qur’an dan sunnah dihina oleh ar-Razi yang hanya perpegangan pada pendapat Aristoteles, Ibnu Sina, dan Al-Farabi?”. Mendengar khutbah tersebut, masyarakat terprovokasi dan menggrebek rumah Ar-Razi. Akhirnya, Sultan mengirim pasukan untuk meredam keributan tersebut.

Kisah beberapa abad yang lalu tersebut, sekarang masih sering terjadi. Perbedaan pendapat seringkali tidak mendatangkan rahmat sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah, tetapi justru membawa malapetaka yang besar. Masyarakat kita masih belum bisa menerima hadist Nabi yang berbunyi ikhtilafu ummati rahmatun (perbedaan diantara umatku adalah rahmat). Begitu pula saling tuduh-menuduh masih terus terjadi di antara kita.

Jika hal itu terus terjadi, bagaimana kita bisa membangun perdamaian dan kesejahteraan di muka bumi sebagaimana mandat yang diberikan Allah kepada manusia. Sebaliknya, kekawatiran para malaikat akan terjadinya pertumpahan darah jika manusia sebagai pemimpin di muka bumi ini barangkali perlu juga dibenarkan. Tapi, Allah Maha Tahu atas segala hal yang terjadi di muka bumi ini.

Pesan Perdamaian
Sesungguhnya, semua umat Islam telah tahu bahwa Islam datang ke dunia ini untuk membawa perdamaian, kemaslahatan, kesejahteraan bagi seluruh alam. Islam tidak pernah mengajarkan kepada pemeluknya untuk menyerang, membunuh, dan saling tuduh-menuduh kepada seseorang atau kelompok tertentu. Sebaliknya, anjuran dan perintah untuk selalu damai, sopan, santun, dan berprasangka baik (khusnul al-zdan) kepada siapapun sangat ditekankan dalam Islam.

Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kau (yaitu): kamu tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan kamu tidak akan mengusir dirimu (saudaramu sebangsa) dari kampung halamanmu, kemudian kamu berikrar (akan memenuhinya) sedang kamu mempersaksikannya”. (QS. Al-Baqarah: 84)

Akan tetapi, ajaran-ajaran damai ini seringkali kurang dipahami dan dimengerti oleh umat Islam. Sebagian umat Islam lebih suka menggunakan jalan kekerasan daripada perdamaian. Ajaran Allah untuk saling menasehati (QS. Al-'Ashr: 3) di tengah-tengah masyarakat berubah menjadi saling membunuh, saling menyerang. Perbedaan pendapat, keyakinan seakan-akan telah merubah ajaran-ajaran perdamaian yang diberikan oleh Allah.

Nabi Muhammad telah banyak memberikan contoh yang baik akan hal ini. Selama penyebaran agama Islam di Mekkah, Nabi Muhammad selalu dapat hinaan dan gangguan dari masyarakat-masyarakat Jahiliyah. Bahkan, suatu ketika Nabi Muhammad hendak melakukan shalat di Baitullah, Nabi diludahi dan dihina-hina. Tetapi, Nabi selalu membalas dengan senyuman, keramahan, kesopanan, dan toleransi.

Dari sini, kita perlu bertanya, apakah diri kita akan mengikuti perilaku dan sikat umat Jahiliyah yang selalu menghina, menuduh, dan menggunakan kekerasan? Sudah berapa kali kita menuduh orang lain dengan hal-hal yang negatif, bahkan dituduh kafir, musyrik?

Jika kita masih tetap mempertahankan dan meyakini bahwa Muhammad adalah nabi yang membawa Islam, maka tidak boleh tidak kita harus mengikuti sikap, perilaku, perkataan Nabi Muhammad. Kecuali itu, mereka-mereka yang tidak mengakui keadiluhungan moral Nabi Muhammad. Sampai saat ini, tidak ada satu intelektual, baik Muslim ataupun non-Muslim, yang tidak mengakui moralitas dan akhlaq karimah Nabi Muhammad.

Perbedaan adalah Sunnatullah
Saling tuduh, membunuh, menyerang seseorang atau suatu kelompok seringkali terjadi karena adalah perbedaan pendapat dan keyakinan. Sebagaimana yang dialami oleh Ar-Razi dalam cerita di atas, perbedaan adalah pangkal dari adalah tindakan-tindakan kriminal tersebut.

Padahal, adanya perbedaan merupakan bukti akan kebesaran Allah. Allah menciptakan umat manusia sangat beragam, baik dalam hal bahasa, etnis, suku, agama, dan sebagainya. Akan tetapi, perbedaan itu, kata Allah, dimaksudnya untuk saling mengenal dan melakukan kerjasama dengan baik sehingga amanah manusia sebagai khalifah Allah bisa tercapai.

Pernahkah kita berpikir bahwa mengapa kita lahir di desa A, tidak di B, menggunakan bahawa A, bukan C, berkulit hitam, tidak berkulit putih? Apakah ada jaminan bahwa kita pasti beragama Islam jika kedua orang tua dan lingkungan sekitarnya beragama Kristen atau Buddha? Semuanya itu merupakan bukti kebesaran Allah.

Sebagai bukti (ayat) kebesaran Allah, manusia tidak boleh menodainya. Karena itulah, tidak menghargai perbedaan berarti tidak menghargai akan kebesaran Allah. Bukankah orang-orang semacam ini sama dengan orang-orang yang tidak percaya terhadap Allah?

Karena umat manusia berbeda-beda, maka memahami dan menafsirkan keyakinannya juga akan berbeda. Umat Islam yang hidup di Afrika tentu memiliki pemahaman yang berbedan dengan umat Islam di Indonesia dalam memahami Islam. Apakah kita akan mengkafirkan Imam Hanafi dan Imam Hambali karena tidak sama dengan Imam Syafi’i? Bukankah penentuan kafir dan tidaknya seseorang adalah hak Allah?

Tugas manusia di muka bumi tidak lain adalah untuk membangun perdamaian, kemaslahatan, kasih sayang, toleransi, dan kelangsungan hidup seluruh alam raya. Bagaimana kita bisa melakukan itu semua jika di antara kita saling bermusuhan dan membunuh? Melakukan pengrusakan, pertumpahan darah, dan pengkafiran (takfir) adalah hal-hal yang melampaui tugas manusia. Dan, Allah telas memperingatkan untuk tidak melampaui batas. [Hatim Gazali, Komunitas Al-Ikhtilaf LKiS Yogyakarta]

Dikutip dari Buletin Jumat Al-Ikhtilaf Edisi 295/27 Dzulhijjah 1426 H/27 Januari 2006 M.

Comments

0 komentar :

Posting Komentar